Belajar Tengil dari Abu Nuwas
Dalam penjara yang
dingin dan mencekam, Harun Al-Rasyid, khalifah kelima dari dinasti Abbasiyah harap-harap
cemas menanti menteri dan pasukan kerajaan untuk menyelamatkan hidupnya. “Terlambat
sedikit saja, aku bisa jadi bubur!” barangkali begitu pikir baginda.
Dikisahkan suatu hari, baginda Harun Al-Rasyid diajak berjalan-jalan
oleh Abu Nuwas –atau biasa kita kenal sebagai Abu Nawas. Dirinya ingin
menunjukkan pada baginda suatu tempat penjual bubur yang sangat ramai di perkampungan
orang-orang badui pinggir kota Baghdad.
Siapa sangka? Ternyata bubur tersebut terbuat dari campuran
daging manusia!
Memang kurang ajar betul Abu Nuwas ini. Dengan akal bulusnya,
dirinya berhasil membujuk baginda untuk menyamar menuju perkampungan para badui
tersebut. Hingga pada akhirnya, baginda raja ditangkap para badui kanibal. Tentu
saja baginda gondok tak karuan. Tetapi baginda juga sadar: inilah cara Abu
Nuwas mengkritik. Abu Nuwas ingin menunjukan secara langsung kepadanya: ada sebuah
pelanggaran di wilayah kekuasaannya. Para menteri barangkali hanya melaporkan
hal-hal baik saja, mereka tak mau bekerja keras untuk memeriksa langsung keadaan
penduduk.
Sebab itulah, setelah menteri dan pasukan kerajaan datang menyelamatkan
baginda, mereka tak bisa banyak bicara kecuali menyalahkan Abu Nuwas saja. Mendengar
hal tersebut, baginda sontak berkata kepada menterinya, “Ini juga salahmu! Kau
tak pernah memeriksa perkampungan ini bahwa penghuninya orang-orang kanibal!”
Berpikir Terbuka
Itulah cuplikan salah satu hikayat dari Kisah Seribu Satu Malam. Setelah mendengarnya, pastilah sebuah
pertanyaan terbesit di kepala kita: Siapa sebenarnya tokoh nyeleneh yang bernama Abu Nuwas ini?
Mungkin kini kita lebih mengenalnya sebagai sufi, pelawak, atau
seorang cerdik yang selalu bisa menjawab teka-teki sukar baginda Harun
Al-Rasyid. Tak salah –memang, tetapi jangan lupakan fakta: dia seorang pujangga
yang hingga kini melegenda.
Konyol, nyentrik, tapi cerdas. Itulah pribadi Abu Nuwas. A Literary History of Arabs karya R.A
Nicholson bahkan menjelaskan bagaimana Abu Nuwas menerobos pakem puisi di Arab pada
masa itu. Sebagai orang yang berpaham bebas, Abu Nuwas bukan hanya membuat
sajak religius atau puji-pujian pada Tuhan. Tetapi dia juga tercatat menjadi
orang pertama yang membuat sajak dengan tema kritik, satir, dan anggur, bahkan ada
yang melukiskan kelainan seksual para petinggi kerajaan pada budak lelakinya.
Berani? Jelas! Sebab tema-tema tulisan seperti itu jelas sangatlah
sensitif di mata agama dan kerajaan islam. Apalagi pada masa kekhalifahan.
Lalu, mengapa pada waktu itu, tokoh “nyentrik” semacam ini
tidak dihukum? Tidak dibungkam? Tidak ditangkap?
Barangkali kisah diatas juga telah sedikit menjelaskan bahwa
Baghdad –ibu kota pemerintahan dinasti Abbasiyah pada masa itu: Penuh percaya
diri, terbuka untuk setiap pemikiran, kritik, perbaikan, juga untuk setiap
pencarian dan pertanyaan baru. Sejarah pun telah membuktikan bahwa perkembangan
ilmu, sastra, filsafat dan kemajuan literasi islam memang berjaya pada masa
itu. Sangat mencerminkan kebijaksanaan dan keterbukaan khalifah Harun Al-Rasyid
terhadap berbagai pemikiran. Philip K. Hitti bahkan menuliskan dalam History of the Arabs: karakter
kepemimpinan Harun inilah yang telah membawa dinasti Abbasiyah menuju masa
keemasannya. Dalam hal ini, artinya Raja Harun Al-Rasyid –pemimpin besar
kerajaan monarki absolut, justru dikenang sebagai pemimpin yang demokratis.
Nah, sebagai seorang mahasiswa yang sedang belajar
berdemokrasi di tempat yang dianggap sebagai miniatur negara, yakni kampus: kenyataannya
justru berbeda 180 derajat. Kasus pembekuan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dan pembredelan
karya jurnalistik oleh pihak kampus sedang marak terjadi beberapa tahun
belakangan. Di antaranya, LPM Aksara pada September 2015, LPM Lentera Oktober
2015, LPM Universitas Mataram November 2015. (jateng.tribunnews.com, 3 Mei 2016)
Yang terbaru, terjadi pada LPM Poros Universitas Ahmad
Dahlan (UAD) pada 28 April 2016. LPM Poros dibekukan sebab tema pemberitaan di
buletin POROS mengangkat isu kritis
terhadap ketidaksiapan UAD dalam pembuatan Fakultas Kedokteran (FK) ditinjau
dari fasilitas kampus. Sayang, bukannya menanggapi positif untuk mengembangkan
fasilitas kampus, pihak birokrasi UAD justru bereaksi sinis terhadap berita
tersebut. Pemberitaan buletin POROS dianggap menurunkan citra kampus.
Pers Mahasiswa Harus Tengil!
Sebagai LPM, pembungkaman karya jurnalistik merupakan
keniscayaan yang harus kita hadapi. Sebab, tentu saja kita tidak bisa memaksa agar
semua birokrat yang kita kritik memiliki sifat seperti raja Harun, bukan?
Untuk itulah, pers mahasiswa bukan hanya harus tengil, tapi
wajib tengil!
Bukankah wartawan media massa yang sebenarnya pun terkadang
harus mengeluarkan ke-tengil-an mereka
saat bertugas? Lihat saja Mike Rezendes dalam film Spotlight yang nyelonong
masuk saat tidak diperbolehkan wawancara,
atau Carl Bernstein di film All The
President’s Men yang pura-pura meminjam korek untuk melihat langsung calon narasumber
yang ketakutan dan tak mau diwawancara.
Lincah seperti belut, cerdik layaknya kancil! Hal ini
harusnya para aktivis pers mahasiswa pelajari, untuk menghadapi
narasumber-narasumber yang sulit, ataupun saat sedang mengangkat pemberitaan
yang sensitif. Kita harus mulai mengenal hal-hal diluar batas kewajaran, tetapi
tetap tak melanggar kode etik sebagai jurnalis.
Ya, sebab pers mahasiswa tak bisa terus-terusan sok serius. Memang
kadang perlu bijaksana, tapi juga harus bisa out of the box, lucu, dan rada-rada koplak. Mirip Abu Nuwas.
Aziz Rahardyan, disampaikan dalam acara Pesantren Kilat
Jurnalistik Ramadhan, 12/06/2016
0 komentar:
Posting Komentar