Macam-Macam Tes Ajaib, di Sini Tempatnya!

Minggu, 19 Juni 2016

Belajar Tengil dari Abu Nawas


Belajar Tengil dari Abu Nuwas



Dalam penjara yang dingin dan mencekam, Harun Al-Rasyid, khalifah kelima dari dinasti Abbasiyah harap-harap cemas menanti menteri dan pasukan kerajaan untuk menyelamatkan hidupnya. “Terlambat sedikit saja, aku bisa jadi bubur!” barangkali begitu pikir baginda.


Dikisahkan suatu hari, baginda Harun Al-Rasyid diajak berjalan-jalan oleh Abu Nuwas –atau biasa kita kenal sebagai Abu Nawas. Dirinya ingin menunjukkan pada baginda suatu tempat penjual bubur yang sangat ramai di perkampungan orang-orang badui pinggir kota Baghdad.

Siapa sangka? Ternyata bubur tersebut terbuat dari campuran daging manusia!

Abu Nawas
Abu Nuwas, sketch by Kahlil Gibran


Memang kurang ajar betul Abu Nuwas ini. Dengan akal bulusnya, dirinya berhasil membujuk baginda untuk menyamar menuju perkampungan para badui tersebut. Hingga pada akhirnya, baginda raja ditangkap para badui kanibal. Tentu saja baginda gondok tak karuan. Tetapi baginda juga sadar: inilah cara Abu Nuwas mengkritik. Abu Nuwas ingin menunjukan secara langsung kepadanya: ada sebuah pelanggaran di wilayah kekuasaannya. Para menteri barangkali hanya melaporkan hal-hal baik saja, mereka tak mau bekerja keras untuk memeriksa langsung keadaan penduduk.

Sebab itulah, setelah menteri dan pasukan kerajaan datang menyelamatkan baginda, mereka tak bisa banyak bicara kecuali menyalahkan Abu Nuwas saja. Mendengar hal tersebut, baginda sontak berkata kepada menterinya, “Ini juga salahmu! Kau tak pernah memeriksa perkampungan ini bahwa penghuninya orang-orang kanibal!”


Berpikir Terbuka


Itulah cuplikan salah satu hikayat dari Kisah Seribu Satu Malam. Setelah mendengarnya, pastilah sebuah pertanyaan terbesit di kepala kita: Siapa sebenarnya tokoh nyeleneh yang bernama Abu Nuwas ini?

Mungkin kini kita lebih mengenalnya sebagai sufi, pelawak, atau seorang cerdik yang selalu bisa menjawab teka-teki sukar baginda Harun Al-Rasyid. Tak salah –memang, tetapi jangan lupakan fakta: dia seorang pujangga yang hingga kini melegenda.

Konyol, nyentrik, tapi cerdas. Itulah pribadi Abu Nuwas. A Literary History of Arabs karya R.A Nicholson bahkan menjelaskan bagaimana Abu Nuwas menerobos pakem puisi di Arab pada masa itu. Sebagai orang yang berpaham bebas, Abu Nuwas bukan hanya membuat sajak religius atau puji-pujian pada Tuhan. Tetapi dia juga tercatat menjadi orang pertama yang membuat sajak dengan tema kritik, satir, dan anggur, bahkan ada yang melukiskan kelainan seksual para petinggi kerajaan pada budak lelakinya.

Berani? Jelas! Sebab tema-tema tulisan seperti itu jelas sangatlah sensitif di mata agama dan kerajaan islam. Apalagi pada masa kekhalifahan.



Lalu, mengapa pada waktu itu, tokoh “nyentrik” semacam ini tidak dihukum? Tidak dibungkam? Tidak ditangkap?

Barangkali kisah diatas juga telah sedikit menjelaskan bahwa Baghdad –ibu kota pemerintahan dinasti Abbasiyah pada masa itu: Penuh percaya diri, terbuka untuk setiap pemikiran, kritik, perbaikan, juga untuk setiap pencarian dan pertanyaan baru. Sejarah pun telah membuktikan bahwa perkembangan ilmu, sastra, filsafat dan kemajuan literasi islam memang berjaya pada masa itu. Sangat mencerminkan kebijaksanaan dan keterbukaan khalifah Harun Al-Rasyid terhadap berbagai pemikiran. Philip K. Hitti bahkan menuliskan dalam History of the Arabs: karakter kepemimpinan Harun inilah yang telah membawa dinasti Abbasiyah menuju masa keemasannya. Dalam hal ini, artinya Raja Harun Al-Rasyid –pemimpin besar kerajaan monarki absolut, justru dikenang sebagai pemimpin yang demokratis.

Nah, sebagai seorang mahasiswa yang sedang belajar berdemokrasi di tempat yang dianggap sebagai miniatur negara, yakni kampus: kenyataannya justru berbeda 180 derajat. Kasus pembekuan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dan pembredelan karya jurnalistik oleh pihak kampus sedang marak terjadi beberapa tahun belakangan. Di antaranya, LPM Aksara pada September 2015, LPM Lentera Oktober 2015, LPM Universitas Mataram November 2015. (jateng.tribunnews.com, 3 Mei 2016)

Yang terbaru, terjadi pada LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada 28 April 2016. LPM Poros dibekukan sebab tema pemberitaan di buletin POROS mengangkat isu kritis terhadap ketidaksiapan UAD dalam pembuatan Fakultas Kedokteran (FK) ditinjau dari fasilitas kampus. Sayang, bukannya menanggapi positif untuk mengembangkan fasilitas kampus, pihak birokrasi UAD justru bereaksi sinis terhadap berita tersebut. Pemberitaan buletin POROS dianggap menurunkan citra kampus.


Pers Mahasiswa Harus Tengil!


Sebagai LPM, pembungkaman karya jurnalistik merupakan keniscayaan yang harus kita hadapi. Sebab, tentu saja kita tidak bisa memaksa agar semua birokrat yang kita kritik memiliki sifat seperti raja Harun, bukan?

Untuk itulah, pers mahasiswa bukan hanya harus tengil, tapi wajib tengil!

Bukankah wartawan media massa yang sebenarnya pun terkadang harus mengeluarkan ke-tengil-an mereka saat bertugas? Lihat saja Mike Rezendes dalam film Spotlight yang nyelonong masuk saat tidak diperbolehkan wawancara, atau Carl Bernstein di film All The President’s Men yang pura-pura meminjam korek untuk melihat langsung calon narasumber yang ketakutan dan tak mau diwawancara.

Lincah seperti belut, cerdik layaknya kancil! Hal ini harusnya para aktivis pers mahasiswa pelajari, untuk menghadapi narasumber-narasumber yang sulit, ataupun saat sedang mengangkat pemberitaan yang sensitif. Kita harus mulai mengenal hal-hal diluar batas kewajaran, tetapi tetap tak melanggar kode etik sebagai jurnalis.

Ya, sebab pers mahasiswa tak bisa terus-terusan sok serius. Memang kadang perlu bijaksana, tapi juga harus bisa out of the box, lucu, dan rada-rada koplak. Mirip Abu Nuwas.




Aziz Rahardyan, disampaikan dalam acara Pesantren Kilat Jurnalistik Ramadhan, 12/06/2016 


0 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com