Macam-Macam Tes Ajaib, di Sini Tempatnya!

Senin, 19 Oktober 2020

Dongeng Anak Islami: Kisah Nabi Sulaiman, Rezeki Cacing, Katak dan Semut


Assalamualaikum,



Sebagai utusan Allah yang diberikan kelebihan untuk mampu berbicara dengan binatang, Nabi Sulaiman selalu sanggup menginspirasi kita dengan kisah luar biasa tentang para binatang, termasuk kisah tentang Cacing, Katak, dan Semut yang satu ini. 

Kisah ini sanggup mengajarkan kita untuk berbaik sangka kepada siapa saja. Juga berbaik sangka terhadap Allah SWT atas segala rezeki yang telah Dia berikan.

Semoga dengan menceritakan kisah ini, anak-anak menjadi paham bahwa setiap tumbuhan dan hewan pun terus berdoa dan bertasbih kepada Allah. 

Di samping itu, mereka sanggup memahami bahwa Allah memberi makhluk-Nya rezeki lewat jalan yang tak bisa kita sangka-sangka apabila tekun berdoa. 

Termasuk rezeki untuk kita, para manusia yang pasti dijamin oleh Allah asal kita mau berusaha dan tetap bertawakal. 

Silahkan disimak,

Belajar Bersama Nabi Sulaiman pada Semut, Katak, dan Cacing

Suatu kali Nabi Sulaiman sedang duduk-duduk di pinggir danau. Nabi Sulaiman terbiasa melihat segala hal yang ada di sekitarnya, memperhatikan kebesaran Allah lewat segala penciptaan-Nya. 

Sebab, kita tahu, Nabi Sulaiman pewaris kerajaan Daud ini memang diberikan kemuliaan oleh Allah dengan dapat berkomunikasi dengan hewan, tumbuhan, bahkan jin. Tak heran, binatang sekecil semut pun beliau perhatikan.

Salah satu semut tampak aneh. Dia hanya sendirian membawa satu biji gandum. Anehnya lagi, sang semut justru mendekat ke arah seekor katak yang sedang membuka mulutnya.

Haaaap!

Semut itu masuk ke mulut katak! Oh tidak, semut pembawa gandum dimakan oleh sang katak dan dibawa masuk ke dalam danau. Apakah semut itu benar-benar dimakan oleh sang katak?

Ternyata setelah beberapa saat, sang katak kembali ke darat. Ketika membuka mulutnya, ternyata semut pembawa gandum pun masih berada di dalamnya dan kembali ke daratan dengan selamat. 

Wah, alhamdulillah si semut tidak jadi dimakan! 

Loh, loh, loh, tapi satu biji gandum yang semut bawa tadi, kok hilang, ada di mana ya?

Akhirnya baginda Nabi Sulaiman pun bertanya pada semut, "Wahai semut, apa sebenarnya yang baru saja kau lakukan di dalam mulut katak?"


"Wahai Nabiyullah, sesungguhnya di dalam danau ini terdapat sebuah batu yang cekung berongga, dan di dalam cekungan batu itu terdapat seekor cacing,” jawab semut. 

Semut menceritakan bahwa sang cacing tersebut tidak kuasa keluar dari cekungan batu untuk mencari penghidupan. Selain terjepit karena tak bisa keluar, sang cacing juga buta. 

"Dan sesungguhnya Allah telah mempercayakan kepadaku urusan rezekinya," tambah semut. 

Ternyata, sebiji gandum yang tadi dibawa semut merupakan rezeki buat sang cacing. 

"Oleh karena itu, aku membawakan rezekinya, dan Allah swt. telah menguasakan kepadaku sehingga katak ini membawaku kepadanya. Maka air ini tidaklah membahayakan bagiku. Sesampai di batu itu, katak ini meletakkan mulutnya di rongga batu itu, lalu aku pun dapat masuk ke dalamnya," kata Semut menceritakan pengalamannya di dalam air. 

Kemudian, setelah semut mengantar sebiji gandum kepada cacing itu, semut keluar dari rongga batu dan kembali ke mulut katak, "Lalu katak ini mengembalikan aku di tepi danau," tutup semut. 

Nabi Sulaiman a.s. pun kemudian bertanya kepada Semut apakah dia mendengar bagaimana suara cacing tersebut bertasbih kepada Allah? 

"Ya, cacing itu mengucapkan: Yâ man lâ yansani fî jaufi hâdzihi bi rizqika, lâ tansâ ‘ibâdakal mu’minîna bi rahmatik (Wahai Dzat Yang tidak melupakan aku di dalam danau yang dalam ini dengan rezeki-Mu, janganlah Engkau melupakan hamba-hamba-Mu yang beriman dengan rahmat-Mu)," jawab si semut. 


Wallahualam.



Baca Juga: 






Sabtu, 10 Oktober 2020

Kisah Bertemu Sang Garuda, dan Wejangannya Buat Indonesia


Sabtu (10/10/2020) - Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saya sudah sampai di negeri awan. 

Ternyata keadaannya mirip-mirip di Bumi, baik dari jenis batuan yang saya injak, rerumput liar yang tumbuh dari sela-sela sambungannya, sampai kadar oksigen dalam udara yang saya hirup. 

Bedanya, anginnya silir tenan, tapi kabutnya ndak habis-habis. Burem kayak sore-sore di pegunungan. 

Tidak perlu jalan terlalu lama, Sang Garuda kebetulan baru bangun tidur. Kucek-kucek mata sebentar dengan sayap kanan besarnya yang tampak lemas. Sementara itu, sayap kirinya ngelus-elus perut, yang ternyata juga tak kalah besar dari sayapnya yang punya 17 bulu itu. 

Ternyata dia liat saya, lalu merentangkan sayapnya ke atas sambil bilang 'hoy' atau sapaan singkat sejenis. Saya lupa. Tapi sekaligus menyiratkan gestur agar saya menunggu sebentar. 

Saya baru sempat membalasnya dengan mengangkat tangan. Dia sudah melengos, lanjut senam-senam kecil. 

Di kiri saya ada bangku kayu yang buat naiknya saja harus pakai lompat. Saya memilih tidak bersandar, bukan hanya karena sandarannya memang jauh, tapi biar kaki saya bisa menggantung. Biar bisa mainan kaki, kayak anak kecil. 

Loh, loh, loh. Ternyata dari tadi depan saya itu kolam. Kaget saya. Pantesan lumut dan rumput liar yang saya temui dari tadi, kok, kayaknya seger. Ternyata akarnya bisa minum dari sini. 

Loh, loh, loh! Sang Garuda, kok, nyemplung. Mandi? Loh, renang! Edan tenan. Nyilep sisan. Saya bergerak refleks. Seketika saya lompat dari bangku, mencari-cari gelembung nafasnya di air masih ada atau tidak. "Iso munggah opo orak manuk iki," batinku. 

Syukurlah. Ternyata cuma sebentar. Dia mentas, sambil bawa ikan besar di paruhnya. Aneh-aneh memang Sang Garuda ini. Ternyata dari tadi dia itu laper toh, mau makan dulu. Mbok bilang tho dari tadi, mbah, mbah. Ah, saya tinggal udud wae, lah. 

***


Selesai makan, Sang Garuda jalan ke arah saya, 'kipik-kipik'. Dengan ukuran dua kali lipat besar manusia, jelas airnya nyembur kayak semprotan cuci motor salju. Saya nutupin udud biar nggak mati kena air. Susah nanti kalo mau nyumet lagi. Anginnya gede

Setelah dia ikut duduk sambil masih geriming-geriming mirip orang masuk angin, akhirnya kita bisa ngobrol. 

"Njenengan itu lho, maem kok pakai nyemplung air segala," ujarku basa-basi membuka obrolan. 

"Lha piye, mas. Emang kudune ngono. Dulu memang bisa, tinggal nyucruk. Sekarang ikan besarnya pada di dalam. Yo wis, rekoso sithik orak masalah. Barangsiapa ingin mutiara, harus berani terjun di lautan yang dalam," ujarnya. 

Iya, sih, kolam ini terbilang gede banget buat manusia. Kalo dianggap lautan juga oleh seekor manuk, wajar lah

Rokok saya diambil satu olehnya. Masih doyan dia kalau jenis kretek. Lucu juga di balik otot-otot sayap maskulin itu, bulunya tetap lentik, sampai-sampai bisa kayak jemari manusia. Dia nyalain koreknya pakai kaki. 

"Kolam ini buatan ya, mbah?" tanyaku sok akrab. Dia cuma manggut-manggut mengiyakan. 

Kemudian Sang Garuda menceritakan kisah-kisah mengenai tempat tinggalnya ini. Dari mulai zaman orak enak, zaman rekoso-nya, era-era kejayaan dan kepercayaan diri, sampai sempat punya periode menutup diri, sampai zaman opo-opo enak, tinggal ciduk, dan keenakan hingga seperti sekarang. Jan, persis sejarah Indonesia. 

"Tetangga-tetangga yang mbah tadi ceritakan itu, ada elang, ada macan, ada panda, raksasa buncit segala, itu sebenarnya sempat takut lho, sama mbah. Apalagi kalau mbah sudah bisa terbang lagi," ujarku menimpali ceritanya. 

Sekadar informasi, tadi dia sempat menyinggung cerita mengenai sebab-sebab dia sudah malas terbang. Sampai-sampai sekarang memang sudah ndak bisa terbang. 

Banyak ternyata alasannya. Yang paling koplak, mungkin karena dia (sambil bercanda) bilang kalau perutnya sudah kegedean, dan badannya itu sudah ringkih, gampang masuk angin. 

Haha. Waktu dia cerita itu, jelas aku ngekek. Manuk, kerjaannya bersatu sekaligus melawan angin, kok bisa itu lho, kena masuk angin. Ada-ada saja Sang Garuda ini. 

"Terus, kalau kita pengen mbah terbang lagi, mengepakkan sayap lebarmu itu di angkasa, bikin takjub, semarak, sedikit nakutin boleh juga, dan punya manfaat lagi kepada berbagai aspek Poleksosbudhankam di seantero dunia. Kita salah ndak mbah?" pintaku. Kayak anak kecil.

"Yo enggak, lah. Malah bagus, lah!" jawabnya. 

"Caranya?" 

"Yo, tinggal anjlok. Gitu aja kok repot," jelasnya sembari menghembuskan asap lewat lubang hidung di paruhnya. 

Tanpa sadar, saya justru menimpali:

"Tapi, dalam waktu dekat ini, jangan anjlok dulu, deh, mbah."

***


Jujur, alam bawah sadar saya memang didominasi pikiran bahwa Sang Garuda, Si Mbah Garuda itu, belum siap buat anjlok

Anjlok itu ya, semacam burung baru mulai belajar terbang begitu, lah. Terjun. Bayangin kalau burung dewasa belajar semacam itu, kita lihat saja ngilu sendiri, kan? Semacam lebih kasihan begitu, kan? 

Apalagi Simbah yang sebesar itu, seberat itu, serumit itu cara terbangnya dan masalah-masalah yang sedang dipikulnya. Kemungkinan berhasilnya sekarang ini, saya perkirakan cuma 50 persen. 

Berani? Jelas berani aja Simbah kita ini. Tapi berani dan nekat itu beda ceritanya walaupun tipis. 

Simbah menyiratkan kalau persentase keberhasilan buat terbang lagi dengan anjlok, itu memang bergantung kesiapan internal. Minimal, perlu waktu buat ngecilin perut, bikin sayap bisa kuat lagi, dan membiasakan diri biar kalau pas terbang nanti, nggak bersin-bersin karena kena angin. Nggelebak malah lhaiske. 

Sayangnya, minimal butuh periode satu-dua generasi buat sedikit-sedikit meningkatkan persentase keberhasilan itu. Nantinya ndak bisa 100 persen, ndak masalah, lah. 

Tapi memang satu generasi itu harus rekoso. Perlu keikhlasan dan penerimaan tersendiri, karena belum tentu sepanjang hidupnya nanti sempat menemui dan menikmati langsung terbangnya Mbah Garuda. 

Satu generasi ini harus mau diajak ngecilin perut, mau diajak memperkuat jiwa-raga internal, mau mengorbankan diri untuk tidak terjebak dalam periode 'keenakan'. 

Berat kan? Tapi bahkan belum cukup sampai di sana. Generasi ini harus ikut mempersiapkan keberanian buat anjlok. Mau turun. Mau ke bawah. 

Entah dalam terminologi sosial, ekonomi, kepemimpinan dan politik, bahkan mentalitas pribadi yang akan ditabrak oleh realita-realita 'udah, ngapain sih, toh, begini aja sudah enak'. 

Terlihat nanti, Anjlok po rak mentalmu. Tergoda atau tidak nafsumu itu. Ngeper atau tidak kamu ketika menemui godaan-godaan kenyamanan yang sudah didapatkan. 

Kalau masuk jajaran elit kepengurusan negara, maukah turun mendengarkan aspirasi dan mengungkap ide-idemu langsung di depan wajah rakyatmu? 

Kalau jadi konglomerat, miliarder, jutawan, pengusaha, wirausaha, maukah turun menggandeng usaha kecil dan ikut mengorbankan pendapatanmu buat orang-orang di luar keluarga dan golonganmu saja? 

Bahkan, ketika hanya sampai sebagai kelas menengah pun, maukah kamu turun membangkitkan keresahanmu yang setiap harinya telah terkubur rutinitas? Sekadar belajar lagi dengan membeli koran atau buku, dan membangkitkan keinginanmu untuk bermanfaat walaupun sedikit, untuk mengorbankan rezekimu dalam kegiatan amal, sosial, serta mengendapkan sebagian lainnya buat mensukseskan pembangunan negara atau membantu usaha-usaha kecil yang membutuhkan permodalan? 

Serta maukah kita semua turun beraktivitas setiap hari bukan hanya untuk mengeluh 'prihatin' kemudian curhat di medsos, sekadar 'kerja-kerja-kerja' atau belajar sesuai bidang keilmuan yang kita mau saja? Berjanji tidak cuek terhadap potensi-potensi di sekitar dan enggan langsung berperan dalam perbaikan-perbaikan kecil di masyarakat? 

Saya juga sempat tanya mengenai hal ini kepada Sang Garuda. Mana mungkin ada generasi yang kompak mau nelongso seperti itu? Kapan kelahirannya dan bagaimana cara mempersiapkan anak-anak manusia di Indonesia nanti menghadapi periode semacam itu? 

Nahas, Simbah malah marahin saya: "Ora usah ngomyang tok, ora usah kakean takon, ora usah kakean teori, ora usah bedek-bedekan. Kamu sendiri malah masih di sini. Turun sana!"


azr. 


sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com